Senin, 18 April 2016

kekalahan raksasa industri elektronika jepang







Terdapat beberapa faktor penyebab kekalahan industri elektronika jepang seperti yang saya baca di dalam Analisis Penyebab Kemunduran Raksasa-raksasa Industri Elektronika Jepang ,


Kita tentu mengenal nama besar Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo. Hari-hari ini, langit Tokyo amat mendung. Ada kegetiran yang mencekam di balik gedung-gedung raksasa di sana. Industri elektronika Jepang yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa perih.
Beberapa waktu lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka.
Serbuan Samsung dan LG mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori gadget, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol. What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang?
Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa dipetik sebagai pelajaran.


Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang terseok-seok karena budaya mereka yang mengagungkan harmoni dan konsensus (kesepakatan bersama). Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo. Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi). Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah nafas. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan. Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas -mirip dengan kultur Indonesia ya? Di perusahaan Jepang, hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah hal asing. Promosi jabatan di hampir semua perusahaan Jepang berpaku pada senioritas. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia: di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian pingsan. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun. Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua. Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat
Satu faktor tambahan lagi.
 

Faktor 4 : Salah Fokus. Lihatlah iklan-iklan produk Jepang, rata-rata menampilkan keunggulan fitur produk dan spesifikasinya. Misalkan smartphone X tahan air sampai kedalaman 10 meter. Bandingkan dengan iklan produk Samsung misalnya, penekanan dan visualisasinya lebih kepada pengguna, people, konsumen. Dan value. Di iklan Samsung di bawah ini misalnya, yang ditampilkan adalah kehangatan keluarga.
Diksi atau pilihan kata sangat menentukan persepsi masyarakat sekarang tentang suatu produk. Masyarakat tidak ingin merasa ditawari secara terang-terangan. Dan hal teknis seperti spesifikasi dan fitur harus dibahasakan dengan lebih luwes dan mudah dimengerti. Contohnya Steve Jobs lebih memilih “1000 lagu dalam sakumu” dibanding mengatakan “iPod memiliki kapasitas penyimpanan sekian Gb”. Jepang nampaknya tidak menyadari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar